Oleh
: Hatminudin Sikuy Amy (Pjs. Ketua Gmni Komisariat Universitas
Palangka Raya)
Pendahuluan
Banyak
orang belajar/mempelajari Marhaenisme, yakni ajaran Bung Karno. Namun
tidak menemukan apa sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran
tersebut. Mereka tidak atau belum menemukan "benang
merahnya".
Dengan demikian maka sepertinya mereka sekedar mempelajari secara
lahir tentang perjuangan dan keberhasilan Bung Karno di masa yang
silam, karena mereka cuma
mewarisi abunya sejarah bukan apinya sejarah.
Apabila
setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian adanya, hanya
sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya ajaran
yang brilliant itu kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun
kenang-kenangan yang indah). Marhaenisme kemudian menjadi "out
of date".
Adalah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk kembali menghidupkan
jiwa ajaran tersebut, kembali menemukan arti kebaikan bagi rakyat.
Dengan demikian Marhaenisme akan menampakkan jiwanya sebagai ajaran
yang dinamis dan selalu up
to date.
Untuk
itulah maka mempelajari Marhaenisme tidaklah cukup hanya mempelajari
pengertian-pengertiannya yang verbal, akan tetapi kita mencoba untuk
menukik lebih dalam mencoba mengkaji makna hakikinya. Dengan demikian
maka di samping kita mengerti apa Marhaenisme
(secara verbal), kita coba menelaah mengapa dan juga untuk
apa Marhaenisme
yang meliputi mengapa
lahir Marhaenisme dan mengapa
kita pilih
sekarangserta untuk
apa sebenarnya kita memiliki Marhaenisme itu.
Pengertian
dasar Marhaenisme
Marhaenisme - Marhaen - Marhaenis
Marhaenisme,
adalah ajaran Bung Karno. Pengertianya adalah meliputi asa (teori
politik) dan asas perjuangan.
Sebagai
asa atau teori politik, ia adalah teori yang menghendaki susunan
masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menghendaki
keselamatan kaum Marhaen*. Sebagai teori politik meliputi pengertian
:
Sosio
Nasionalisme,
Sosio
Demokrasi,
Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sosio
Nasionalisme; adalah nasionalisme masyarakat, nasionalisme yang
mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut
wet-wet nya masyarakat itu**.
Sosio
Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi daripada Sosio Nasionalisme.
Sosio demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan kedua
kakinya didalam masyarakat***. Sosio Demokrasi tidak untuk
kepentingan sekelompok kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk
kepentingan seluruh masyarakat.
Marhaen;
adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung Karno
di daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk
menggambarkan kelompok masyarakat/bangsa Indonesia yang
menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan karena kemalasannya
atau kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena
disengsarakan oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme.
Marhaen
meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang melarat,
dan semua kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh sistem/stelsel
kapitalisme-kolonialisme dan feodalisme.
Marhaenis,
adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut petunjuk
ajaran-ajaran Marhaenisme, berjuang dengan bersama-sama/mengorganisir
berjuta-juta kaum marhaen yang tersebar di seluruh tanah air.
2.1.
Marhaenisme sebagai asas/teori politik sebenarnya merupakan
kesimpulan, sekaligus sebagai teori perjuangan.
Artinya
: pada saat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia
(Marhaen) menderita karena suatu sistem/stelsel. Sebetulnya ia penuh
potensi dan bukan kaum yang malas.
Dengan
demikian maka Marhaenisme mengandung teori perjuangan. Masalahnya
mengapa sampai tiba kesimpulan yang demikian itu? Disinilah makna
daripada Marhaenisme. Dengan visi Marhaenisme (yang berpihak kepada
rakyat), kita dapat menganalisa masyarakat dan hasilnya adalah kita
mengetahui kesengsaraan rakyat yang disebabkan oleh suatu
sistem/stelsel. Dan dengan itu pula kita dapat menentukan cara
berjuangnya.
2.2.
Marhaenisme adalah kesimpulan dari penelaahan terhadap kondisi
masyarakat Indonesia.
Kita
ketahui bahwasanya masyarakat itu berkembang, seperti yang dijelaskan
dalam metode berpikir marhenisme tentang "THESA-ANTITHESA-SYNTESA".
Demikianlah masyarakat berkembang terus dari suatu thesa (keadaan)
kepada thesa (keadaan) berikutnya, sampai pada thesa yang terakhir.
Gerak ini kita kenal sebagai "DIALEKTIKA".
Dengan dialektika, selanjutnya kita dapat melihat dua elemen dalam
masyarakat yang selalu berhadapan, yakni :
element
establishment, dan
elemen
perubahan.
Elemen
establishment adalah
elemen yang menguasai thesa dan menjalankan suatu stelsel/sistem
sebagai kelangsungan thesa (keadaan) tersebut. Elemen
perubahan adalah
elemen yang berada pada struktur antithesa. Apabila thesa pertama
telah gugur karena munculnya antithesa, maka keadaan baru atau
sinthesa akan dikuasai oleh elemen perubahan tersebut. Selanjutnya
pada saat itu elemen
perubahan menjadi elemen establishment. Demikianlah
proses semacam ini berjalan terus sampai tercipta thesa terakhir
yakni satu bentuk stelsel /sistem kemasyarakatan yang terakhir dan
sempurna (dalam ajaran Marhaenisme, bentuk tersebut adalah Sosialisme
Indoneisa).
Dari
teori di atas dapat dianalisa keadaan masyarakat Indonesia. Ketika
kolonialisme Belanda menguasai maka posisinya adalah sebagai
establishment. Ia menguasai suatu thesa/keadaan (penjajahan) dan
menjadi suatu stelsel/ sistem kapitalisme-kolonialisme.
Pada
saat yang bersamaan , disitu telah terdapat pula elemen perubahan,-
yakni masyarakat Indonesia yang tidak puas dengan keadaan. Semula
kekuatan perubahan ini bersifat latent, setelah kekuatan ini berhasil
diungkapkan - maka menjadi kekuatan riil untuk merubah keadaan. Cara
pengungkapan kekuatan latent menjadi kekuatan riil itulah yang
kemudian dirumuskan sebagai asa/teori perjuangan. Didalam
buku MENCAPAI
INDONESIA MERDEKA teori
atau asas perjuangan disebutkan antara lain melipuit
: self-help, self-relience, non
kooperatip, machtvrming, massa
aksi, revolusioner.
Setelah
terjadi perubahan (kemerdekaan Indonesia) dan elemen perubahan
berubah menjadi elemen establishment dan telah menguasai keadaan maka
dibutuhkan teori-teori atau asas untuk menyusun sistem/stelsel
kemasyarakatan. Dari hasil telaah yang mendalam ditemukan teori
politik yang merupakan jawaban (antithesa) dari keadaan (thesa) yang
ada.
Secara
singkat digambarkan sebagai berikut:
Elemen Establismen | Kondisi Bangsa Indonesia | Elemen Perubahan |
-
-
-
Devide
et impera
Dehumanisme
Penjajahan
Penghisapan
|
Kegotong-royongan
Theistis
Dsb.
Terpecah
belah
Tertindas
Tidak
ada kedaulatan politik
Ketidakadilan
|
-
-
KetuhananYang
Maha Esa
Kebangsaan
/Persatuan Indonesia
Humanisme/Kemanusiaan
Demokrasi/
Kerakyatan
Keadilan
sosial
|
Catatan:
Dalam kenyatan masyarakat masing-masing kondisi tersebut tidak dapat
selalu dipisahkan, akan tetapi saling berkaitan.
Dengan
demikian maka nampaklah bahwa baik sebagai teori politik/asas maupun
sebagai teori perjuangan, adalah merupakan jawaban terhadap keadaan.
Mengapa
Memilih Marhaenisme
Persoalan
berikutnya adalah mengapa sampai terjadi kesimpulan tersebut ? dengan
kata lain; mengapa mesti lahir Marhaenisme, demikian pula mengapa
pula kita memilihnya?
Pada
proses dialektika seperti disebutkan di depan, maka rakyat berada
pada elemen perubahan karena ia (rakyat) jelas merupakan bagian
masyarakat yang menderita akibat satu sistem/stelsel yang
dipertahankan oleh elemen establishment. Proses perubahan tersebut
adalah sudah menjadi keharusan sejarah dan merupakan hukum alam, dan
mesti terjadi. Karena setiap Marhaenis menghendaki perbaikan nasib
rakyat, maka ia pasti berpihak kepada rakyat, berpihak kepada
perubahan, karena perubahan yang terjadi adalah satu proses yang
menuju kepada perbaikan nasib rakyat. Ketika Bung Karno dengan pisau
analisanya mencoba meneelaah keadaan yang terjadi atas bangsanya dan
dilihatnya elemen establishment (kolonialisme Belanda) dan elemen
perubahan (Marhaen yang menderita) maka tercetuslah ajaran ajarannya
yang menghendaki perubahan dengan jalan "merdeka sekarang juga".
Dengan kemerdekaan nasional (sebagai jembatan emas) akan
diperbaikilah nasib Marhaen yang menderita.
Maka
boleh disimpulkan; karena adanya kolonialisme Belanda dan karena
adanya Marhaen yang menderita dan atas kemampuan Bung Karno, lahirlah
"MARHAENISME" sebagai teori politik dan teori perjuangan
yang menghendaki perubahan-perubahan menuju perbaikan nasib Marhaen.
Persoalan
berikutnya adalah merupakan hal yang penting bagi kita. Mengapa kita
memilih Marhaenisme sebagai anutan? Menjawab pertanyaan tersebut maka
terlebih dahulu kita menjawab permasalahan berikut, yakni :
Apakah
proses perubahan/dialektika itu masih akan terjadi ?
Berada
pada pihak manakah kita dalam pertentangan dua elemen yang ada
(establishment dan perubahan) tersebut ?
Di
dalam metode berpikir Marhaenisme telah jelas diterangkan tentang
pola perubahan dalam masyarakat, secara sedarhana dapat digambarkan
sebagai berikut:
Thesa
|
Antithesa
|
Synthesa/Thesa
Baru
|
Antithesa
|
Syntesa/Thesa
Baru
|
|
Feodalisme
|
perubahan
|
Kapitalisme
|
perubahan
|
Sosialisme
|
|
I
|
II
|
III
|
Melihat
proses tersebut kita dihadapkan pada pilihan untuk menilai dimanakah
fase perkembangan masyarakat yang ada. Apabila kesimpulan kita bahwa
masyarakat sosialisme Indonesia (III) belum tercapai maka berarti
proses perubahan masih akan terjadi. Dalam hal ini setiap Marhaenis
berpihak pada elemen perubahan yang menuju kepada perbaikan nasib
kaum Marhaen/rakyat.
Untuk
Apa Marhaenisme ?
Setelah
kita tahu apa dan mengapa marhaenisme, maka masalahnya adalah
penarikan relevansinya pada saat ini. Dengan kata lain, untuk apakah
marhaenisme ?
Jawabannya
adalah sangat sederhana "UNTUK
BERJUANG".
Namun demikian sekalipun ungkapan diatas adalah sangat sederhana,
akan tetapi menerangkan masalah ini sebenarnya memerlukan uraian yang
sangat panjang.
Konotasi
"BERJUANG" adalah berarti
memperjuangkan nasib rakyat.
Lalu kita mencoba mengkaji dan menelaah masalah kekinian untuk
kemudian mengambil sikap. Pertama, kita lihat bagaimana, dan
bagaimana kesimpulannya. Kalau kesimpulan kita adalah "PENDERITAAN",
maka masalah berikutnya adalah: mengapa
mereka menderita?, apa penyebabnya?,
dan sebagainya.
Secara
sederhana kita simpulkan secara global, ambilah TRISAKTI
TAVIP sebagai
tolok ukur. Rumusan Trisakti adalah:
Berdikari
dalam bidang ekonomi.
Berdaulat
dalam bidang politik.
Berkepribadian
dalam kebudayaan.
Trisakti
merupakan tolok ukur untuk menilai kemerdekaan. Dinamakan merdeka
apabila ketiga hal tersebut telah dipenuhi, atau setidaknya dalam
proses menuju kesana. Dikatakan bahwa kemerdekaan adalah sekedar
"Jembatan Emas". Diseberang jembatan itu kita bangun
Sosialisme Indonesia, kita bangun Indonesia yang "gemah ripah
lohjinawi". Masalahnya sekarang bagaimanakah keadaan jembatan
tersebut, untuk menilai hal ini kita punya tolak ukur di atas.
Demikian pula mari kita lihat keadaan masyarakat Marhaenis dengan
menggunakan pisau analisa Marhanisme, baru kemudian kita bisa
menentukan sikap dengan terlebih dahulu memilih siapa kawan kita, dan
siapa lawan kita.
Penutup
Kalau
kita melihat pola perubahan masyarakat melalui proses dialektika,
maka seolah-olah kita terpukau, apakah untuk mencapai Sosialisme
Indonesia harus melalui fase kapitalisme? Bung Karno menjelaskan
bahwa tanpa melalui fase kapitalisme kita dapat mencapai Sosialisme
Indonesia. Teori ini kemudian disebut dengan "fase
Sprong Teory".
Dengan pentahapan revolusi, maka dengan meloncati fase kapitalisme
kita dapat langsung menuju sosialisme. Ternyata Bung Karno tidak
sendiri, artinya bahwa pendapat beliau (teori fase sprong) bukan
satu-satunya pendapat atau teori yang berpendapat bahwa tanpa melalui
kapitalisme dapat terbentuk sosialisme. Ernesto
Che Guevara,
seorang pejuang revolusioner dari Kuba (yang terbunuh di Bolivia)
mempunyai pendapat yang sama walaupun dalam rumusannya yang berbeda.
Dikatakannya sebagai berikut:
"It’s
not necessary to weak for fullfillment condition a revolution,
because the focus of insurection can create them".
Maksudnya,
tanpa menunggu kondisi penuh untuk suatu revolusi (mencapai
sosialisme), sosialisme akan tercapai. Karena revolusi untuk mencapai
sosialisme akan terbentuk dengan sendirinya dengan dihidupkannya
pergolakan-pergolakan, yang artinya masyarakat digembleng dalam
suasana revolusioner secara terus menerus. Bung Karno membagi tahapan
revolusi sebagai berikut:
fase
satu, nasionalisme demokrat
fase
dua, sosialisme demokrat
fase
tiga, sosialisme indonesia
Pada fase
satu,
semua elemen progresif dipersatukan, semua potensi nasional disatukan
(Nation And Character Building) untuk menyingkirkan musuh dan
penghalang revolusi. Pada fase
kedua,
setelah semua penghalang revolusi berhasil disingkirkan, maka
selanjutnya adalah membangun landasan dasar sosialisme. Landasan
mental telah tercipta ( dengan Nation And Character Building) maka
dibangunkanlah landasan fisiknya. Dengan berakhirnya fase kedua maka
kita telah siap memasuki fase
tiga, yakni
Sosialisme Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar